The twentieth first century has witnessed resurgence in the observance of fundamental Islamic business practices around the world. However, the fact cannot be denied that the current state of business under unbridled capitalism in the majority of cases in the Muslim world remains far from the Islamic ideal. This gap between the ideal and the reality is widening rapidly and has become a threat not only to the well being of the masses but also to the very peace and stability of Muslim societies.This paper try to describe the model of shariah compliant business entities. It presents the basic understanding of the concept of business in Islam and its business characteristics. It also explore the form of business management model that is shariah compliant.
PENGERTIAN BISNIS SYARIAH
PENGERTIAN BISNIS SYARIAH
Secara bahasa, Syariat
(al-syari’ah) berarti sumber air minum (mawrid al-ma’ li al istisqa) atau jalan
lurus (at-thariq al-mustaqîm). Sedang secara istilah Syariah bermakna
perundang-undangan yang diturunkan Allah Swt melalui Rasulullah Muhammad SAW
untuk seluruh umat manusia baik menyangkut masalah ibadah, akhlak, makanan,
minuman pakaian maupun muamalah (interaksi sesama manusia dalam berbagai aspek
kehidupan) tunjuannya meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Menurut Syafi’I Antonio, syariah
mempunyai keunikan tersendiri, Syariah tidak saja komprehensif, tetapi juga
universal. Universal bermakna bahwa syariah dapat diterapkan dalam setiap waktu
dan tempat oleh setiap manusia. Keuniversalan ini terutama pada bidang sosial ekonomi
yang tidak membeda-bedakan antara kalangan Muslim dan non-Muslim. Dengan
mengacu pada pengertian tersebut, Hermawan Kartajaya dan Syakir Sula memberi
pengertian bahwa Bisnis syariah adalah bisnis yang santun, bisnis yang penuh
kebersamaan dan penghormatan atas hak masing-masing. Pengertian yang hari lalu
cenderung normatif dan terkesan jauh dari kenyataan bisnis kini dapat dilihat
dan dipraktikkan dan akan menjadi trend bisnis masa depan.
PRINSIP DASAR DAN ETIKA
DALAM BISNIS SYARI’AH
Ada empat prinsip (aksioma)
dalam ilmu ikonomi Islam yang mesti diterapkan dalam bisnis syari’ah, yaitu:
1. Tauhid
(Unity/kesatuan)
2. Keseimbangan
atau kesejajaran (Equilibrium)
3. Kehendak
Bebas (Free Will)
4. Tanggung
Jawab (Responsibility)
- Tauhid mengantarkan manusia pada pengakuan akan keesaan Allah selaku Tuhan semesta alam. Dalam kandungannya meyakini bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini bersumber dan berakhir kepada-Nya. Dialah pemilik mutlak dan absolut atas semua yang diciptakannya. Oleh sebab itu segala aktifitas khususnya dalam muamalah dan bisnis manusia hendaklah mengikuti aturan-aturan yang ada jangan sampai menyalahi batasan-batasan yang telah diberikan.
- Keseimbangan atau kesejajaran (Equilibrium) merupakan konsep yang menunjukkan adanya keadilan sosial. Kehendak bebas (Free Will) yakni manusia mempunyai suatu potensi dalam menentukan pilihan-pilihan yang beragam, karena kebebasan manusia tidak dibatasi. Tetapi dalam kehendak bebas yang diberikan Allah kepada manusia haruslah sejalan dengan prinsip dasar diciptakannya manusia yaitu sebagai khalifah di bumi. Sehingga kehendak bebas itu harus sejalan dengan kemaslahatan kepentingan individu telebih lagi pada kepentingan umat.
- Tanggung Jawab (Responsibility) terkait erat dengan tanggung jawab manusia atas segala aktifitas yang dilakukan kepada Tuhan dan juga tanggung jawab kepada manusia sebagai masyarakat. Karena manusia hidup tidak sendiri dia tidak lepas dari hukum yang dibuat oleh manusia itu sendiri sebagai komunitas sosial. Tanggung jawab kepada Tuhan tentunya diakhirat, tapi tanggung jawab kepada manusia didapat didunia berupa hukum-hukum formal maupun hukum non formal seperti sangsi moral dan lain sebagainya.
Sementara menurut Beekun terdapat
5 aksioma dalam ekonomi islam. Sebagai yang kelima adalah benovelence atau
dalam istilah lebih familiar dikenal dengan Ihsan. Ihsan adalah kehendak untuk
melakukan kebaikan hati dan meletakkan bisnis pada tujuan berbuat kebaikan.
Kelima prinsip tersebut secara operasional perlu didukung dengan suatu etika
bisnis yang akan menjaga prinsip-prinsip tersebut dapat terwujud.
Etika Bisnis Syari’ah
Etika dipahami sebagai
seperangkat prinsip yang mengatur hidup manusia (a code or set of principles which
people live). Berbeda dengan moral, etika merupakan refleksi kritis dan
penjelasan rasional mengapa sesuatu itu baik dan buruk. Menipu orang lain
adalah buruk. Ini berada pada tataran moral, sedangkan kajian kritis dan
rasional mengapa menipu itu buruk dan apa alasan pikirnya, merupakan lapangan
etika. Perbedaan antara moral dan etika sering kabur dan cendrung disamakan.
Intinya, moral dan etika diperlukan manusia supaya hidupnya teratur dan
bermartabat. Orang yang menyalahi etika akan berhadapan dengan sanksi
masyarakat berupa pengucilan dan bahkan pidana.Bisnis merupakan bagian yang tak
bisa dilepaskan dari kegiatan manusia. Sebagai bagian dari kegiatan ekonomi
manusia, bisnis juga dihadapkan pada pilihan-pilihan penggunaan factor
produksi. Efisiensi dan efektifitas menjadi dasar prilaku kalangan pebisnis.
Sejak zaman klasik sampai era modern, masalah etika bisnis dalam dunia ekonomi
tidak begitu mendapat tempat. Ekonom klasik banyak berkeyakinan bahwa sebuah
bisnis tidak terkait dengan etika. Dalam ungkapan Theodore Levitt, tanggung
jawab perusahaan hanyalah mencari keuntungan ekonomis belaka. Atas nama
efisiensi dan efektifitas, tak jarang, masyarakat dikorbankan, lingkungan rusak
dan karakter budaya dan agama tercampakkan.
Perbedaan etika bisnis syariah
dengan etika bisnis yang selama ini dipahami dalam kajian ekonomi terletak pada
landasan tauhid dan orientasi jangka panjang (akhirat). Prinsip ini dipastikan
lebih mengikat dan tegas sanksinya. Etika bisnis syariah memiliki dua cakupan.
Pertama, cakupan internal, yang berarti perusahaan memiliki manajemen internal
yang memperhatikan aspek kesejahteraan karyawan, perlakuan yang manusiawi dan
tidak diskriminatif plus pendidikan. Sedangkan kedua, cakupan eksternal
meliputi aspek trasparansi, akuntabilitas, kejujuran dan tanggung jawab.
Demikian pula kesediaan perusahaan untuk memperhatikan aspek lingkungan dan
masyarakat sebagai stake holder perusahaan.
Abdalla Hanafi dan Hamid Salam,
Guru Besar Business Administration di Mankata State Univeristy menambahkan
cakupan berupa nilai ketulusan, keikhlasan berusaha, persaudaraan dan keadilan.
Sifatnya juga universal dan bisa dipraktekkan siapa saja. Etika bisnis syariah
bisa diwujudkan dalam bentuk ketulusan perusahaan dengan orientasi yang tidak
hanya pada keuntungan perusahaan namun juga bermanfaat bagi masyarakat dalam
arti sebenarnya. Pendekatan win-win solution menjadi prioritas. Semua pihak
diuntungkan sehingga tidak ada praktek “culas” seperti menipu masyarakat atau
petugas pajak dengan laporan keuangan yang rangkap dan lain-lain. Bisnis juga
merupakan wujud memperkuat persaudaraan manusia dan bukan mencari musuh. Jika
dikaitkan dengan pertanyaan di awal tulisan ini, apakah etika bisnis syariah
juga bisa meminimalisir keuntungan atau malah merugikan ?. Jawabnya tergantung
bagaimana kita melihatnya. Bisnis yang dijalankan dengan melanggar
prinsip-prinsip etika dan syariah seperti pemborosan, manipulasi,
ketidakjujuran, monopoli, kolusi dan nepotisme cenderung tidak produktif dan
menimbulkan inefisiensi.
Etika yang diabaikan bisa
membuat perusahaan kehilangan kepercayaan dari masyarakat bahkan mungkin
dituntut di muka hukum. Manajemen yang tidak menerapkan nilai-nilai etika dan
hanya berorientasi pada laba (tujuan) jangka pendek, tidak akan mampu bertahan
(survive) dalam jangka panjang. Jika demikian, pilihan berada di tangan kita.
Apakah memilih keuntungan jangka pendek dengan mengabaikan etika atau memilih
keuntungan jangka panjang dengan komit terhadap prinsip-prinsip etika –dalam
hal ini etika bisnis syariah.
Ciri-Ciri Bisnis Syari’ah
Bisnis syariah merupakan
implementasi/perwujudan dari aturan syari’at Allah. Sebenarnya bentuk bisnis
syari’ah tidak jauh beda dengan bisnis pada umumnya, yaitu upaya
memproduksi/mengusahakan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen.
Namun aspek syariah inilah yang membedakannya dengan bisnis pada umumnya.
Sehingga bisnis syariah selain mengusahakan bisnis pada umumnya, juga
menjalankan syariat dan perintah Allah dalam hal bermuamalah. Untuk membedakan
antara bisnis syariah dan yang bukan, maka kita dapat mengetahuinya melalui
ciri dan karakter dari bisnis syariah yang memiliki keunikan dan ciri
tersendiri. Beberapa cirri itu antara lain:
1. Selalu
Berpijak Pada Nilai-Nilai Ruhiyah. Nilai ruhiyah adalah kesadaran setiap
manusia akan eksistensinya sebagai ciptaan (makhluq) Allah yang harus selalu
kontak dengan-Nya dalam wujud ketaatan di setiap tarikan nafas hidupnya. Ada
tiga aspek paling tidak nilai ruhiyah ini harus terwujud , yaitu pada aspek :
(1) Konsep, (2) Sistem yang di berlakukan, (3) Pelaku (personil).
2. Memiliki
Pemahaman Terhadap Bisnis yang Halal dan Haram. Seorang pelaku bisnis
syariah dituntut mengetahui benar fakta-fakta (tahqiqul manath) terhadap
praktek bisnis yang Sahih dan yang salah. Disamping juga harus paham
dasar-dasar nash yang dijadikan hukumnya (tahqiqul hukmi).
3. Benar
Secara Syar’iy Dalam Implementasi. Intinya pada masalah ini adalah ada
kesesuaian antara teori dan praktek, antara apa yang telah dipahami dan yang di
terapkan. Sehingga pertimbangannya tidak semata-mata untung dan rugi secara
material.
4. Berorientasi
Pada Hasil Dunia dan Akhirat. Bisnis tentu di lakukan untuk mendapat
keuntungan sebanyak-banyak berupa harta, dan ini di benarkan dalam Islam.
Karena di lakukannya bisnis memang untuk mendapatkan keuntungan materi (qimah
madiyah). Dalam konteks ini hasil yang di peroleh, di miliki dan dirasakan,
memang berupa harta.
5. Namun,
seorang Muslim yang sholeh tentu bukan hanya itu yang jadi orientasi hidupnya.
Namun lebih dari itu. Yaitu kebahagiaan abadi di yaumil akhir. Oleh
karenanya. Untuk mendapatkannya, dia harus menjadikan bisnis yang dikerjakannya
itu sebagai ladang ibadah dan menjadi pahala di hadapan Allah . Hal itu
terwujud jika bisnis atau apapun yang kita lakukan selalu mendasarkan pada
aturan-Nya yaitu syariah Islam.
Jika semua hal diatas dimiliki
oleh seorang pengusaha muslim, niscaya dia akan mampu memadukan antara realitas
bisnis duniawi dengan ukhrowi, sehingga memberikan manfaat bagi kehidupannya di
dunia maupun akhirat.
Prinsip Transaksi Dalam Islam
Agar transaksi yang kita lakukan
sesuai dengan kaidah bisnis syariah ada
lima prinsip yang harus kita perhatikan :
- Kegiatan ekonomi yang kita transaksikan tidak berbasis bunga atau riba
- Produk atau jasa yang kita transaksikan tidak melibatkan sesuatu yang haram, seperti daging babi atau minuman beralkohol.
- Menghindari hal-hal yang bersifat judi (masyir)
- Menghindari hal-hal yang bersifar spekulatif atau tidak pasti ( gharar)
- Kesediaan mengeluarkan zakat dan sedekah.
Implikasi
dari lima prinsip tersebut adalah larangan terhadap sejumlah perbuatan sebagai
berikut:
- Menimbun (ikhtiar), Islam melaknat praktek penimbunan (ikhtiar) barang, karena hal tersebut berakibat naiknya harga barang dipasaran akibat sedikitnya pasokan ke masayarakat. Sebagaimana Sabda Rasulullah “Orang yang mensuply barang akan diberi rezeki, dan orang yang menimbunnya akan mendapatkan laknat” (HR Ibnu Majah).
- Transaksi Palsu (bai’najasi), adalah transaksi yang mengabaikan bisnis syariah yang dibuat-buat dengan tujuan tertentu, misalnya untuk menaikan harga barang atau menurunkannya. Dalam ilmu ekonomi transaksi tersebut disebut penawaran palsu (false supply) dan permintaan palsu (false demand). Penawaran palsu dilakukan dengan tujuan menaikan harga barang karena meningkatnya permintaan cenderung akan mendorong naiknya harga barang. Kejadian sebalaiknya adalah penawaran palsu yang tujuannya menurunkan harga barang sehingga pembeli bisa membeli barang tersebut dengan harga murah.
- Ghaban, adalah kegiatan illegal yang melanggar prinsip bisnis syariah dilingkungan pasar financial yang biasanya memanfaatkan informasi internal, misalnya rencana-rencana keputusan-keputusan perusahaan yang belum di publikasikan. Di Pasar modal prilaku yang termasuk ghaban misalnya adalah perdagangan orang dalam ( insider trading).
- Mengurangi Takaran, banyak perintah Al-qur’an yang menyebutkan tentang kewajiban menggunakan takaran yang benar, ini sangat jauh dari prinsip bisnis syariah. Dan syu’aib berkata : “Hai kaumku, sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil dan janganlah kamu merugikan hak-hak manusia dan janganlah kamu membuat kejahatan dimuka bumi dengan berbuat kejahatan”
- Tidak mengurangai takaran bagian dari upaya menjaga kepercayaan antara investor dan pengelola investasi. Dengan demikian fungsi auditor dalam memeriksa setiap transaksi sangat diperlukan. Bila tindakan mengurangi takaran dibiarkan maka hal itu akan mengakibatkan hilangnya keprcayaan investor terhadap produk investasi yang ada.
Referensi:*